SEJARAH DAN PERBANDINGAN SISTEM PERS DI INDONESIA DAN KETIMPANGAN ARUS INFORMASI DI BARAT DAN NEGARA BERKEMBANG

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Balakang
Pers Indonesia sekarang hanya dikuasai segelintir orang yang bermodal banyak. Pers Indonesia menganut paham liberal. Beritanya tidak lagi demi kepentingan masyarakat, tetapi demi kepentingan perusahaan itu sendiri untuk mendapatkan uang sebanyak – banyaknya. Uang menjadi nomor satu. Urusan apakah berita tersebut berdampak buruk apa tidak urusan belakangan. Yang penting uang, uang dan uang.
Pers harus berpegang teguh kepada peraturan,undang – undang, ataupun kode etik jurnalistik yang sudah ada. Pemerintah juga harus turut andil dalam menata industri pers yang hanya dikuasai segelintir orang saja. Pemerintah harus mengeluarkan peraturan tentang kepemilikan perusahaan pers. Indonesia perlu meniru negara maju (Amerika Serikat). Disana, ada peraturan yang menyebutkan bahwa orang yang sudah memiliki perusahaan pers (televisi), tidak boleh memiliki perusahaan radio. Sehingga orang lain pun dapat mendirikan perusahaan pers sesuai dengan idealisme mereka sendiri – sendiri tanpa ada intervensi. Dan pemerintah harus berani dan tidak takut kepada para pemilik modal besar.
Kebebasan informasi yang didengungkan negara maju pada kenyataannya menyebabkanterjadinya ketimpangan arus informasi antara negara maju dengan negara berkembang Negara-negara berkembang didominasi oleh dua pertiga arus informasi dari Barat. Ketimpangan yang terjadi bisa dikatakan bukan hanya masalah pesan, namun lebih dari itumenyangkut isi pesan yang lebih banyak menggunakan perspektif negara maju. Ketimpangan itu bisa saja diminalisir dengan menyeimbangkan informasi yang paralel dengan keseimbangansumber daya dan infrastruktur antara negara maju dan berkembang.Teori modernisasi dan globalisasi melihat dominasi arus informasi oleh negara-negara maju bukan sebagai hal yang negatif.
B.     Rumusan Masalah
C.    Tujuan Penelitian



BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Sistem Pers di Indonesia
1. Sistem Pers Orde Lama.
Sistem Pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaiknya pers tersebut dapat melaksanakan kebebasan dan tanggung jawabnya. Sistem kebebasan pers Indonesia sendiri merupakan bagian dari sistem kemerdekaan yang lebih luas, yaitu kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat dengan lisan dan tulisan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, yang harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Namun kenyataannya selama kurang lebish 17 tahun undang-undang yang mengatur kehidupan pers itu tidak pernah terwujud, hanya baru sampai pada rancangan dan pembicaraan-pembicaraan.
Rancangan undang-undang pers yang dipersiapkan oleh panitia pers dan perencanaan perundang-undangan pers telah diserahkan kepada Menteri Penerangan pada tanggal 11 Agustus 1954 dan sembilan bulan kemudian, pada tanggal 11 Mei 1955 rancangan undang-undang tersebut telah disampaikan kepada kabinet Ali Sastroamidjojo. Namun selanjutnya nasib rancangan undang-undang ini tak menentu lagii rimbanya, karena hingga berakhirnya era demokrasi liberal, Sistem Pers Indonesia belum memiliki undang-undang sebagai landasan yuridisnya.
Diera demokrasi terpimpin para tokoh pers terus berusaha agar rancangan undang-undang pers dapat disahkan Para penguasa pun berulangkali membicarakan tentang pengesahan undang-undang pers, namun baru pada akhir kepemimpinannya 12 Desember 1966, Presiden Soekarno mengesahkan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Undang-undang ini nantinya menjadi landasan yuridis sistem pers di awal pemerintahan ordebaru.
2. Sistem Pers Orde Baru.
Semenjak diundangkannya Undang-Undang Pokok Pers No. 11 tahun 1966, Menurut S.Tasrif Sistem Pers Orde Baru mengalami kebebasan yang cukup luas geraknya. Namun setelah peristiwa “ Malari “ tahun 1974, kebebasan pers mengalami set-back. Beberapa surat kabar dilarang terbit dan pengawasan terhadap kegiatan pers serta wartawan diperketat. Larangan-larangan dari penguasa lebih digiatkan seperti larangan melalui telepon agar pers tidak menyiarkan berita tertentu, atau dengan jalan memperingatkan wartawan untuk lebih mentaati kode etik jurnalistik sebagai “ self cencorship “.
Lembaga-lembaga pers yang ada pada waktu itu adalah :
1. Dewan Pers, yaitu merupakan lembaga tertinggi dalam sistem pembinaan pers di Indonesia, dan memegang peranan utama dalam pembangunan pelembagaan bagi pertumbuhan dan perkembangan pers. Walaupun demikian, pembinaan pers berada ditangan pemerintah (Menteri Penerangan, yang dalam pemerintahan reformasi kemudian ditiadakan).
2. Organisasi Pers, yang termasuk kedalam katagori organisasi pers adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP), dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).
Indonesia pernah menganut sistem pers otoriter dan sistem pers liberal sebelum akhirnya menganut sistem pers tanggung jawab sosial. Ketika masa orde baru, pers Indonesia sempat menganut sistem pers otoriter, dimana Pemerintah melalui Departemen Penerangan pada masa itu mengontrol seluruh kegiatan pers, mulai dari keharusan memiliki SIUPP bagi lembaga pers, kontrol isi yang amat ketat terhadap pemberitaan pers sampai dengan seringnya kasus pembredelan terhadap media yang dianggap mengganggu stabilitas, ketentraman dan kenyamanan hidup masyarakat dan negara. Kebebasan pers berada di tangan pemerintah. Pers tunduk pada sistem pers, sistem pers tunduk pada sistem politik.
Pasca orba (masa reformasi), pers Indonesia seakan memperoleh kebebasannya yang selama ini tidak pernah benar-benar dirasakan. Pemerintahan Habibie yang pada masa itu menggantikan Soeharto mencabut SIUPP kemudian masa pemerintahan berikutnya di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri, pemerintah membubarkan Departemen Penerangan. Era kebebasan pers pun dimulai. Sistem pers Indonesia pun berubah menjadi sistem pers liberal. Hal ini dapat dilihat melalui minimnya self censhorsip pada media, artinya media lemah dalam melihat apakah suatu berita layak dimunculkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dengan maraknya kemunculan berbagai media yang mengangkat tema pornografi guna memenuhi permintaan pasar. Selain itu, muncul pula kecenderungan media untuk mengadili seseorang bersalah sebelum munculnya keputusan hukum oleh pengadilan. Hal ini dapat dilihat pada kasus Soeharto.
Pada awal-awal masa reformasi, media seakan-akan berlomba untuk mengadili sosok Soeharto Namun lambat laun sistem pers Indonesia mulai berubah dan menyesuaikan dengan ideologi serta etika dan moral yang berkembang di masyarakat. Mulai selektifnya masyarakat dalam memilih media yang akan dikonsumsi menyebabkan lambat laun media-media jurnalisme “lher” hilang dengan sendirinya karena kurang mampu bersaing dengan media-media yang lebih berkulitas dan edukatif dalam menyampaikan informasi.
3. Sistem Pers Reformasi
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.
Berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman.
Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sbb :
Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.
Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.
Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.
Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.
Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini.


B. Perbandingan Sistem Pers di Indonesia

Perbandingan Sistem Pers berarti, persamaan dan perbedaan media komunikasi yang digunakan pada masa-masa tertentu yang merunut pada sistem, prinsip dan teori-teori pers yang berkembang dari dahulu hingga saat ini. Sebuah kajian untuk membandingkan suatu sistem pers yang berlaku pada saat tertentu untuk Indonesia sendiri ada berbagai sistem pers yang ada. Karena sistem pers dipengaruhi oleh kondisi politik suatu negara, di Indonesia sendiri terjadi berbagai gejolak yang mempengaruhi sistem pers yang berlaku. Perbandingan sistem pers digunakan untuk memahami atau mengetahui sistem apa yang digunakan oleh suatu negara.

Persamaan dan Perbedaan Pers Orde lama dan Orde baru.
Persamaan : masa orla dan orba sistem persnya sama-sama otoriter
Perbedaan : masa orla ada yang disebut pers partisan yaitu pers dijadikan sebagai corong partai-partai politik besar.
Secara filosofis pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat partai. Pers di masa ini dijadikan alat propaganda oleh parpol-parpol tertentu dan pada masa ini dari tahun 1945-1959 merupakan pers demokrasi liberal dan dari tahun 1959-1966 merupakan pers terpimpin yang mana pada masa ini pers lebih banyak merupakan alat penguasa dari pada alat penyambung lidah rakyat.
Sedangkan di masa orba tidak ada lagi istilah pers partisan adapun kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan orba sbb :
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
·         perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
·          sukses transmigrasi
·          sukses KB
·          sukses memerangi buta huruf
·          sukses swasembada pangan
·          pengangguran minimum
·          sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
·          sukses Gerakan Wajib Belajar
·          sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
·         Sukses keamanan dalam negeri
·         Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
·         Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
·         Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
·          Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
·          Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
·         Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
·         Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
·         Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
·         Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibrendel
·         Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
·          Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)

C. Fungsi dan Peranan Pers dalam Masyarakat Demokratis Indonesia
Pers atau media amat dibutuhkan baik oleh pemerintah maupun rakyat dalam kehidupan bernegara. Pemerintah mengharapkan dukungan dan ketaatan masyarakat untuk menjalankan program dan kebijakan negara. Sedangkan masyarakat juga ingin mengetahui program dan kebijakan pemerintah yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 disebutkan mengenai fungsi pers, dalam hal ini pers nasional.
- Adapun fungsi pers nasional adalah sbb :
1. Sebagai wahana komunikasi massa
Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga negara dengan pemerintah, dan antarberbagai pihak.
2. Sebagai penyebar informasi.
Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau negara kepada warga negara (dari atas ke bawah) maupun dari warga negara ke negara (dari bawah ke atas).
3. Sebagai pembentuk opini.
Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers dapat menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers.
4. Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi.
UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan : “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”


Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan pers di Indonesia antara lain sbb :
  1. media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya.
  2. media perantara bagi pemerintah dan masyarakat.
  3. penyampai informasi kepada masyarakat luas.
  4. penyaluran opini publik.
D. Landasan Pers Indonesia.
Pers Indonesia perlu tetap memiliki landasan untuk menghindari ironi, tirani, dan bahkan hegemoni kekuasaan dalam tubuh pers itu sendiri. Oleh karena itu, pers Indonesia memiliki landasan sebagai berikut ;
1. Landasan Idiil.
Landasan pertama, yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artinya, selama ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional kita harus tetap merujuk kepada pancasila sebagai ideologi nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber dari segala sumber hukum.
2. Landasan Konstitusional.
Landasan yang menunjuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan amandemen dan ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyatakan pendapat dengan lisan dan tulisan.
3. Landasan Yuridis Formal.
Mengacu kepada UU Pokok Pers No. 40/ 1999 untuk pers, dan UU Pokok Penyiaran No. 32/ 2002 untuk radio siaran dan media televisi siaran.
4. Landasan strategis Operasional.
Landasan ini mengacu kepada kebijakan redaksional media pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasional.
5. Landasan Sosiologis Kultural.
Landasan ini berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku dan sekaligus dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa Indonesia.
6. Landasan Etis Profesional.
Landasan ini menginduk kepada kode etik profesi. Setiap organisasi profesi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat hanya menginduk kepada satu kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap organisasi pers harus menyatakan terikat dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri-sendiri, boleh juga menyepakati kode etik bersama.

E. Kontemplasi Arus Informasi Negara Barat dan Negara Berkembang
Pentingnya kebutuhan akan komunikasi dan informasi kemudian mendorong manusia untuk berinovasi dalam hal penyediaan media komunikasi yang efektif dan mampu memberikan informasi yang dibutuhkan secara akurat. Akan tetapi, tak jarang terjadi kesalahan dan berbagai kendala maupun kepentingan-kepentingan yang kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan arus dan juga susbstansi informasi pada media komunikasi.
Antara negara maju dan berkembang sebenarnya telah terjadi ketimpangan informasi
yang kemudian menjadi salah satu permasalahan pelik. Untuk mengantisipasi fenomena ini, United Nations telah menyadari perlunya penyebaran dan pemerataan informasi secara proporsional karena merupakah hak bagi semua orang untuk memperoleh informasi dan memiliki pandangan secara bebas. Hal ini tergambar dalam deklarasi UN berikut “
“Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes
freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers. (UN The Universal Declaration of Human Rights, Article 19)”
Seperti yang tercantum dalam deklarasi tersebut, UN menitik beratkan pada kebebasan individu untuk memperoleh informasi melalui media sebagai salah satu hak bagi siapa pun melalui media. Kebebasan dalam memperoleh informasi adalah hak yang fundamental dan menjadi pijakan bagi seluruh kebebasan yang diperhatikan oleh UN. Hal-hal yang termasuk dalam kebebasan memperoleh informasi ini adalah hak untuk mengumpulkan, menyalurkan, dan mempublikasikan informasi dimanapun tanpa adanya penghalang. hingga saat ini fenomena-fenomena seperti ketidakmerataan informasi, media yang melaksanakan perannya secara tidak objektif, dan minimnya informasi yang dikeluarkan oleh media massa membuat proses komunikasi, pemahaman dan pembentukan opini masyarakat menjadi tidak optimal sebagai menunjukkan implikasi dari adanya ketimpangan arus dan isi informasi.
Jika ketimpangan arus dan isi infromasi memang benar adanya, lalu mengapa hal ini bisa terjadi?
Faktor yang pertama adalah adanya perbedaan ideologi maupun sistem yang digunakan oleh negara-negara di dunia. Mengapa hal ini dapat mempengaruhi proses penyampaian informasi? karena sistem atau ideologi negara inilah yang kemudian menentukan batas-batas fleksibilitas, pola, serta proporsi penyampaian informasi melalui pers. Jika suatu negara menggunakan prinsip-prinsip demokrasi, negara tersebut akan memberlakukan kebijakan yang lebih mengutamakan kepada kebebasan pers untuk mencari informasi dan menyampaikannya dalam bentuk berita kepada masyarakat. Pemerintahan demokrasi juga menggunakan pers sebagai check and balance terhadap kinerja pemerintaha dengan memanfaatkan informasi yang dilaporkan pers melalui sudut pandang pers.
Di negara-negara demokratis cenderung tidak memperlihatkan ketimpangan arus maupun isi informasi. Memang, praktek-praktek seperti pers yang ditunggangi kepentingan, media yang tidak objektif, maupun informasi yang overlapping sulit untuk dihindari. Akan tetapi, masyarakat tetap dapat memperoleh haknya dalam memperoleh informasi sebebas-bebasnya.
Lain halnya dengan negara-negara yang cenderung otoriter dan tidak demokratis. Negara-negara ini pada umumnya kerap menggunakan tindakan kebijakan yang opresif terhadap wewenang media dalam memberikan ataupun meliput informasi. Masyarakat di negara ini cenderung mengetahui informasi-informasi yang “dilegalkan” oleh pemerintah yang notabene telah mengalami proses sensorship terlebih dahulu.
Hal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan arus dan isi informasi, karena masyarakat di negara yang otoriter memperoleh informasi yang tidak sama dengan negara-negara demokratis lainnya. Contoh yang nyata terjadi di era Soekarno dan orde baru dimana media sangat dibatasi oleh pemerintah. Bahkan media pers Abadi dibredel oleh pemerintah karena tidak menandatangani 19 persyaratan pemerintah tentang aturan media pers.
Kedua, kelemahan infrastruktur dan sistem informasi antara negara berkembang dan negara maju. Walaupun era globalisasi yang dalam dekade belakangan ini kerap digembar-gemborkan dengan jargon “Global village’ dimana akses untuk memperoleh informasi dan koneksi dari belahan bumi manapun menjadi semakin mudah, kendala-kendala untuk memperoleh informasi sepertinya masih menghantui negara-negara berkembang. Lemahnya infrastruktur dan sistem informasi menyebabkan masyarakat tidak dapat memperoleh informasi tepat waktu.
Contoh nyata adalah masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan antara Malaysia dan Kalimantan Barat. Keadaan yang terpencil minimnya sarana penyedia informasi, membuat masyarakat di daerah ini memiliki pengetahuan tentang perkembangan dalam negeri yang minim dan ironisnya mereka bahkan memiliki akses informasi yang jauh lebih mudah tentang keadaan Malaysia karena media informasi Malaysia sangat mudah diakses di daerah ini.
Hal ini juga diikuti dengan adanya digital gap atau digital devide (kesenjangan dalam perolehan akses dan penggunaan dunia digital/internet) yang merupakan kesenjangan penggunaan teknologi seperti internet dalam pemenuhan kebutuhan akan informasi di negara-negara berkembang, khususnya negara-negara seperti Afrika.
Ketiga, adanya muatan kepentingan yang menunggangi media massa untuk membentuk opini publik. Memang, media massa sangat berperan dalam pembentukan opini publik melalui informasi, spekulasi, dan analisis yan disampaikannya kepada masyarakat. Beberapa media pers yang ditunggangi oleh kepentingan sang pemilik menyebabkan perbedaan informasi atau posi pemberitaan yang berbeda pula dengan media pers lainnya. Karena menyadari perannya yang sangat signifikan dalam mempengaruhi pandangan dan pola pikir masyarakat, media massa kerap dijadikan sebagai alat bagi golongan tertentu yang sarat dengan kepentingan, khususnya kepentingan politis dan ekonomi. Contoh nyata adalah perbedaan antara CNN, Foxnews, dan Aljzeera dalam mempublikasikan berita maupun data temuan keduanya. Dalam meliput invasi AS ke Irak dan menyajikan data korban, kedua jaringan pemberitaan tersebut memiliki perbedaan data yang cukup kontras. Hal ini kemudian dianulir sebagai bentuk perbedaan kepentingan antara barat dan timur.
Mengkaji faktor-faktor di atas, ketimpangan arus dan isi informasi bahkan hingga saat ini masih menjadi isu yang krusial, walaupun konsep globalisasi kerap digembar-gemborkan. Apakah hal ini sudah meunjukkan tercapainya tujuan dari globalisasi yang menginginkan keadaan dunia tanpa batas dan kelancaran arus informasi?
Untuk memecahkan permaslahan ini sepertinya tidaklah gampang. Karena untuk mempengaruhi rezim otoriter yang membatasi media di suatu negara dictator, mengatasi maslah ketertinggalan teknologi dan sistem informasi di negara berkembanga, serta mencegah pengaruh kepentingan dalam media, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan kesadaran oleh pemerintah akan pemenuhan hak rakyat terhadap informasi yang berimbanga, kesadaran media kan neutralitas dan keobjektifan, serta kesadaran masyarakat untuk berupaya memenuhi informasi sebagai haknya. Jika ketiga aktor dalam komunikasi internasional ini telah menyadari perannya dan permasalahan yang terjadi, seharusnya ketimpangan arus dan isi informasi  dapat diminimalisir.
                                                              
DAFTAR PUSTAKA

2004, Kahya Eyo, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, Bandung Pustaka Bani Quraisy.

Comments

Popular posts from this blog

Masalah Komunikasi dalam Lobi dan Strategi menghadapi orang yang sulit menciptakan kerjasama.

PR Dan Media Massa

REVIEW BUKU FILSAFAT ILMU KOMUNIKASI SUATU PENGANTAR Dani Vardiansyah