SEJARAH DAN PERBANDINGAN SISTEM PERS DI INDONESIA DAN KETIMPANGAN ARUS INFORMASI DI BARAT DAN NEGARA BERKEMBANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang
Pers Indonesia
sekarang hanya dikuasai segelintir orang yang bermodal banyak. Pers Indonesia
menganut paham liberal. Beritanya tidak lagi demi kepentingan masyarakat,
tetapi demi kepentingan perusahaan itu sendiri untuk mendapatkan uang sebanyak
– banyaknya. Uang menjadi nomor satu. Urusan apakah berita tersebut berdampak
buruk apa tidak urusan belakangan. Yang penting uang, uang dan uang.
Pers harus
berpegang teguh kepada peraturan,undang – undang, ataupun kode etik jurnalistik
yang sudah ada. Pemerintah juga harus turut andil dalam menata industri pers
yang hanya dikuasai segelintir orang saja. Pemerintah harus mengeluarkan
peraturan tentang kepemilikan perusahaan pers. Indonesia perlu meniru negara
maju (Amerika Serikat). Disana, ada peraturan yang menyebutkan bahwa orang yang
sudah memiliki perusahaan pers (televisi), tidak boleh memiliki perusahaan
radio. Sehingga orang lain pun dapat mendirikan perusahaan pers sesuai dengan
idealisme mereka sendiri – sendiri tanpa ada intervensi. Dan pemerintah harus
berani dan tidak takut kepada para pemilik modal besar.
Kebebasan informasi yang didengungkan
negara maju pada kenyataannya menyebabkanterjadinya ketimpangan arus informasi
antara negara maju dengan negara berkembang Negara-negara berkembang
didominasi oleh dua pertiga arus informasi dari Barat. Ketimpangan yang terjadi bisa dikatakan bukan hanya masalah
pesan, namun lebih dari itumenyangkut isi pesan yang lebih banyak menggunakan
perspektif negara maju. Ketimpangan itu bisa saja diminalisir dengan
menyeimbangkan informasi yang paralel dengan keseimbangansumber daya dan
infrastruktur antara negara maju dan berkembang.Teori modernisasi dan
globalisasi melihat dominasi arus informasi oleh negara-negara maju bukan
sebagai hal yang negatif.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Sistem Pers di Indonesia
1. Sistem Pers Orde Lama.
Sistem Pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaiknya pers tersebut
dapat melaksanakan kebebasan dan tanggung jawabnya. Sistem kebebasan pers
Indonesia sendiri merupakan bagian dari sistem kemerdekaan yang lebih luas,
yaitu kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat dengan lisan dan
tulisan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, yang harus diatur lebih
lanjut dalam undang-undang. Namun kenyataannya selama kurang lebish 17 tahun undang-undang yang mengatur kehidupan pers itu
tidak pernah terwujud, hanya baru sampai pada rancangan dan
pembicaraan-pembicaraan.
Rancangan undang-undang pers yang dipersiapkan oleh panitia pers dan
perencanaan perundang-undangan pers telah diserahkan kepada Menteri Penerangan
pada tanggal 11 Agustus 1954 dan sembilan bulan kemudian, pada tanggal 11 Mei
1955 rancangan undang-undang tersebut telah disampaikan kepada kabinet Ali
Sastroamidjojo. Namun selanjutnya nasib rancangan undang-undang ini tak menentu
lagii rimbanya, karena hingga berakhirnya era demokrasi liberal, Sistem Pers
Indonesia belum memiliki undang-undang sebagai landasan yuridisnya.
Diera demokrasi terpimpin para tokoh pers terus berusaha agar rancangan
undang-undang pers dapat disahkan। Para penguasa pun berulangkali membicarakan tentang pengesahan
undang-undang pers, namun baru pada akhir kepemimpinannya 12 Desember 1966,
Presiden Soekarno mengesahkan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers. Undang-undang ini nantinya menjadi landasan yuridis sistem pers di
awal pemerintahan ordebaru.
2. Sistem Pers Orde Baru.
Semenjak diundangkannya Undang-Undang Pokok Pers No. 11 tahun 1966, Menurut
S.Tasrif Sistem Pers Orde Baru mengalami kebebasan yang cukup luas geraknya.
Namun setelah peristiwa “ Malari “ tahun 1974, kebebasan pers mengalami set-back.
Beberapa surat kabar dilarang terbit dan pengawasan terhadap kegiatan pers
serta wartawan diperketat. Larangan-larangan dari penguasa lebih digiatkan
seperti larangan melalui telepon agar pers tidak menyiarkan berita tertentu,
atau dengan jalan memperingatkan wartawan untuk lebih mentaati kode etik
jurnalistik sebagai “ self cencorship “.
Lembaga-lembaga pers yang ada pada waktu itu adalah :
1. Dewan Pers, yaitu merupakan lembaga tertinggi dalam
sistem pembinaan pers di Indonesia, dan memegang peranan utama dalam
pembangunan pelembagaan bagi pertumbuhan dan perkembangan pers. Walaupun
demikian, pembinaan pers berada ditangan pemerintah (Menteri Penerangan, yang
dalam pemerintahan reformasi kemudian ditiadakan).
2. Organisasi Pers, yang termasuk kedalam katagori
organisasi pers adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit
Surat Kabar (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP), dan Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (P3I).
Indonesia pernah menganut sistem pers
otoriter dan sistem pers liberal sebelum akhirnya menganut sistem pers tanggung
jawab sosial. Ketika masa orde baru, pers Indonesia sempat menganut sistem pers
otoriter, dimana Pemerintah melalui Departemen Penerangan pada masa itu
mengontrol seluruh kegiatan pers, mulai dari keharusan memiliki SIUPP bagi
lembaga pers, kontrol isi yang amat ketat terhadap pemberitaan pers sampai
dengan seringnya kasus pembredelan terhadap media yang dianggap mengganggu
stabilitas, ketentraman dan kenyamanan hidup masyarakat dan negara. Kebebasan
pers berada di tangan pemerintah. Pers tunduk pada sistem pers, sistem pers
tunduk pada sistem politik.
Pasca orba (masa reformasi), pers
Indonesia seakan memperoleh kebebasannya yang selama ini tidak pernah
benar-benar dirasakan. Pemerintahan Habibie yang pada masa itu menggantikan
Soeharto mencabut SIUPP kemudian masa pemerintahan berikutnya di bawah
pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri, pemerintah
membubarkan Departemen Penerangan. Era kebebasan pers pun dimulai. Sistem pers
Indonesia pun berubah menjadi sistem pers liberal. Hal ini dapat dilihat
melalui minimnya self censhorsip pada media, artinya media lemah dalam melihat
apakah suatu berita layak dimunculkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Hal ini bisa dilihat dengan maraknya kemunculan berbagai media yang mengangkat
tema pornografi guna memenuhi permintaan pasar. Selain itu, muncul pula
kecenderungan media untuk mengadili seseorang bersalah sebelum munculnya
keputusan hukum oleh pengadilan. Hal ini dapat dilihat pada kasus Soeharto.
Pada awal-awal masa reformasi, media seakan-akan berlomba untuk mengadili
sosok Soeharto। Namun lambat laun
sistem pers Indonesia mulai berubah dan menyesuaikan dengan ideologi serta
etika dan moral yang berkembang di masyarakat. Mulai selektifnya masyarakat
dalam memilih media yang akan dikonsumsi menyebabkan lambat laun media-media
jurnalisme “lher” hilang dengan sendirinya karena kurang mampu bersaing dengan
media-media yang lebih berkulitas dan edukatif dalam menyampaikan informasi.
3. Sistem Pers
Reformasi
Pada masa reformasi, pers Indonesia
menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan
informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya
pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan
16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut
melibatkan 3 tahap saja.
Berdasarkan perkembangan pers tersebut,
dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah
sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman.
Pers di Indonesia telah mengalami
beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sbb :
Tahun 1945-an, pers di Indonesia
dimulai sebagai pers perjuangan.
Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi
pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang
mendanainya.
Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi
periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca
yang tinggi.
Awal tahun 1990-an, pers memulai proses
repolitisasi.
Awal reformasi 1999, lahir pers bebas
di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang kemudian diteruskan
pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini.
B. Perbandingan Sistem Pers di Indonesia
Perbandingan
Sistem Pers berarti, persamaan dan perbedaan media komunikasi yang digunakan
pada masa-masa tertentu yang merunut pada sistem, prinsip dan teori-teori pers
yang berkembang dari dahulu hingga saat ini. Sebuah kajian untuk
membandingkan suatu sistem pers yang berlaku pada saat tertentu untuk Indonesia
sendiri ada berbagai sistem pers yang ada. Karena sistem pers dipengaruhi oleh
kondisi politik suatu negara, di Indonesia sendiri terjadi berbagai gejolak
yang mempengaruhi sistem pers yang berlaku. Perbandingan sistem pers digunakan
untuk memahami atau mengetahui sistem apa yang digunakan oleh suatu negara.
Persamaan dan Perbedaan Pers Orde lama dan
Orde baru.
Persamaan : masa
orla dan orba sistem persnya sama-sama otoriter
Perbedaan : masa
orla ada yang disebut pers partisan yaitu pers dijadikan sebagai corong
partai-partai politik besar.
Secara filosofis
pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada
kemenangan untuk para pejabat partai. Pers di masa ini dijadikan alat
propaganda oleh parpol-parpol tertentu dan pada masa ini dari tahun 1945-1959
merupakan pers demokrasi liberal dan dari tahun 1959-1966 merupakan pers
terpimpin yang mana pada masa ini pers lebih banyak merupakan alat penguasa
dari pada alat penyambung lidah rakyat.
Sedangkan di masa orba tidak ada lagi istilah pers partisan adapun kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan orba sbb :
Sedangkan di masa orba tidak ada lagi istilah pers partisan adapun kelebihan dan kekurangan sistem pemerintahan orba sbb :
Kelebihan sistem
Pemerintahan Orde Baru
·
perkembangan
GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah
mencapai lebih dari AS$1.000
·
sukses transmigrasi
·
sukses KB
·
sukses memerangi buta huruf
·
sukses swasembada pangan
·
pengangguran minimum
·
sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima
Tahun)
·
sukses Gerakan Wajib Belajar
·
sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
·
Sukses keamanan dalam negeri
·
Investor
asing mau menanamkan modal di Indonesia
·
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta
produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
·
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
·
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah
sebagian besar disedot ke pusat
·
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
·
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para
transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada
tahun-tahun pertamanya
·
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan
pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
·
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
·
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh
banyak koran dan majalah yang dibrendel
·
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan,
antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
·
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden
selanjutnya)
C. Fungsi dan Peranan Pers dalam Masyarakat
Demokratis Indonesia
Pers atau media amat dibutuhkan baik oleh pemerintah maupun rakyat dalam
kehidupan bernegara. Pemerintah mengharapkan dukungan dan ketaatan masyarakat
untuk menjalankan program dan kebijakan negara. Sedangkan masyarakat juga ingin
mengetahui program dan kebijakan pemerintah yang telah, sedang, dan akan
dilaksanakan.
Dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 disebutkan mengenai fungsi pers,
dalam hal ini pers nasional.
- Adapun fungsi pers nasional adalah
sbb :
1. Sebagai wahana
komunikasi massa
Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga negara
dengan pemerintah, dan antarberbagai pihak.
2. Sebagai
penyebar informasi.
Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau negara
kepada warga negara (dari atas ke bawah) maupun dari warga negara ke negara
(dari bawah ke atas).
3. Sebagai
pembentuk opini.
Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers dapat
menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita yang
disebarkan lewat pers.
4. Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi.
4. Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi.
UU No. 40 Tahun
1999 Pasal 2 menyebutkan : “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum.”
Dapat disimpulkan
bahwa fungsi dan peranan pers di Indonesia antara lain sbb :
- media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya.
- media perantara bagi pemerintah dan masyarakat.
- penyampai informasi kepada masyarakat luas.
- penyaluran opini publik.
D. Landasan Pers Indonesia.
Pers Indonesia perlu tetap memiliki landasan untuk
menghindari ironi, tirani, dan bahkan hegemoni kekuasaan dalam tubuh pers itu
sendiri. Oleh karena itu, pers Indonesia memiliki landasan sebagai berikut ;
1. Landasan Idiil.
Landasan pertama, yakni landasan idiil pers, tetap
pancasila. Artinya, selama ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka,
pers nasional kita harus tetap merujuk kepada pancasila sebagai ideologi nasional,
dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber dari segala
sumber hukum.
2. Landasan Konstitusional.
Landasan yang menunjuk kepada UUD 1945 setelah empat kali
dilakukan amandemen dan ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat,
berkumpul, dan kebebasan menyatakan pendapat dengan lisan dan tulisan.
3. Landasan Yuridis Formal.
Mengacu kepada UU Pokok Pers No. 40/ 1999 untuk pers, dan
UU Pokok Penyiaran No. 32/ 2002 untuk radio siaran dan media televisi siaran.
4. Landasan strategis Operasional.
Landasan ini mengacu kepada kebijakan redaksional media
pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan
nasional.
5. Landasan Sosiologis Kultural.
Landasan ini berpijak pada tata nilai dan norma sosial
budaya agama yang berlaku dan sekaligus dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa
Indonesia.
6. Landasan Etis Profesional.
Landasan ini menginduk kepada kode etik profesi. Setiap
organisasi profesi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi
pers bisa saja sepakat hanya menginduk kepada satu kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap organisasi pers
harus menyatakan terikat dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Ini berarti
tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri-sendiri, boleh juga
menyepakati kode etik bersama.
E. Kontemplasi Arus
Informasi Negara Barat dan Negara Berkembang
Pentingnya kebutuhan akan komunikasi dan informasi
kemudian mendorong manusia untuk berinovasi dalam hal penyediaan media
komunikasi yang efektif dan mampu memberikan informasi yang dibutuhkan secara
akurat. Akan tetapi, tak jarang terjadi kesalahan dan berbagai kendala maupun
kepentingan-kepentingan yang kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan arus
dan juga susbstansi informasi pada media komunikasi.
Antara negara maju dan
berkembang sebenarnya telah terjadi ketimpangan informasi
yang kemudian menjadi salah satu permasalahan pelik.
Untuk mengantisipasi fenomena ini, United Nations telah menyadari perlunya
penyebaran dan pemerataan informasi secara proporsional karena merupakah hak
bagi semua orang untuk memperoleh informasi dan memiliki pandangan secara
bebas. Hal ini tergambar dalam deklarasi UN berikut “
“Everyone has the right to
freedom of opinion and expression; this right includes
freedom to hold opinions without interference and to
seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless
of frontiers. (UN The Universal Declaration of Human Rights, Article 19)”
Seperti yang tercantum dalam
deklarasi tersebut, UN menitik beratkan pada kebebasan individu untuk
memperoleh informasi melalui media sebagai salah satu hak bagi siapa pun
melalui media. Kebebasan dalam memperoleh informasi adalah hak yang fundamental
dan menjadi pijakan bagi seluruh kebebasan yang diperhatikan oleh UN. Hal-hal
yang termasuk dalam kebebasan memperoleh informasi ini adalah hak untuk
mengumpulkan, menyalurkan, dan mempublikasikan informasi dimanapun tanpa adanya
penghalang. hingga saat ini fenomena-fenomena seperti ketidakmerataan
informasi, media yang melaksanakan perannya secara tidak objektif, dan minimnya
informasi yang dikeluarkan oleh media massa membuat proses komunikasi,
pemahaman dan pembentukan opini masyarakat menjadi tidak optimal sebagai
menunjukkan implikasi dari adanya ketimpangan arus dan isi informasi.
Jika ketimpangan arus dan isi
infromasi memang benar adanya, lalu mengapa hal ini bisa terjadi?
Faktor yang pertama adalah
adanya perbedaan ideologi maupun sistem yang digunakan oleh negara-negara di
dunia. Mengapa hal ini dapat mempengaruhi proses penyampaian informasi? karena
sistem atau ideologi negara inilah yang kemudian menentukan batas-batas
fleksibilitas, pola, serta proporsi penyampaian informasi melalui pers. Jika
suatu negara menggunakan prinsip-prinsip demokrasi, negara tersebut akan
memberlakukan kebijakan yang lebih mengutamakan kepada kebebasan pers untuk
mencari informasi dan menyampaikannya dalam bentuk berita kepada masyarakat.
Pemerintahan demokrasi juga menggunakan pers sebagai check and balance terhadap
kinerja pemerintaha dengan memanfaatkan informasi yang dilaporkan pers melalui
sudut pandang pers.
Di negara-negara demokratis
cenderung tidak memperlihatkan ketimpangan arus maupun isi informasi. Memang,
praktek-praktek seperti pers yang ditunggangi kepentingan, media yang tidak
objektif, maupun informasi yang overlapping sulit untuk dihindari. Akan tetapi,
masyarakat tetap dapat memperoleh haknya dalam memperoleh informasi
sebebas-bebasnya.
Lain halnya dengan
negara-negara yang cenderung otoriter dan tidak demokratis. Negara-negara ini
pada umumnya kerap menggunakan tindakan kebijakan yang opresif terhadap
wewenang media dalam memberikan ataupun meliput informasi. Masyarakat di negara
ini cenderung mengetahui informasi-informasi yang “dilegalkan” oleh pemerintah
yang notabene telah mengalami proses sensorship terlebih dahulu.
Hal ini menyebabkan terjadinya
ketimpangan arus dan isi informasi, karena masyarakat di negara yang otoriter
memperoleh informasi yang tidak sama dengan negara-negara demokratis lainnya.
Contoh yang nyata terjadi di era Soekarno dan orde baru dimana media sangat
dibatasi oleh pemerintah. Bahkan media pers Abadi
dibredel oleh pemerintah karena tidak menandatangani 19 persyaratan pemerintah
tentang aturan media pers.
Kedua, kelemahan infrastruktur
dan sistem informasi antara negara berkembang dan negara maju.
Walaupun era globalisasi yang dalam dekade belakangan ini kerap
digembar-gemborkan dengan jargon “Global village’ dimana
akses untuk memperoleh informasi dan koneksi dari belahan bumi manapun menjadi
semakin mudah, kendala-kendala untuk memperoleh informasi sepertinya masih
menghantui negara-negara berkembang. Lemahnya infrastruktur dan sistem
informasi menyebabkan masyarakat tidak dapat memperoleh informasi tepat waktu.
Contoh nyata adalah masyarakat
yang tinggal di daerah perbatasan antara Malaysia dan Kalimantan Barat. Keadaan
yang terpencil minimnya sarana penyedia informasi, membuat masyarakat di daerah
ini memiliki pengetahuan tentang perkembangan dalam negeri yang minim dan
ironisnya mereka bahkan memiliki akses informasi yang jauh lebih mudah tentang
keadaan Malaysia karena media informasi Malaysia sangat mudah diakses di daerah
ini.
Hal ini juga diikuti dengan
adanya digital gap atau digital devide (kesenjangan dalam perolehan
akses dan penggunaan dunia digital/internet) yang
merupakan kesenjangan penggunaan teknologi seperti internet dalam pemenuhan
kebutuhan akan informasi di negara-negara berkembang, khususnya negara-negara
seperti Afrika.
Ketiga, adanya muatan
kepentingan yang menunggangi media massa untuk membentuk opini publik. Memang,
media massa sangat berperan dalam pembentukan opini publik melalui informasi,
spekulasi, dan analisis yan disampaikannya kepada masyarakat. Beberapa media
pers yang ditunggangi oleh kepentingan sang pemilik menyebabkan perbedaan
informasi atau posi pemberitaan yang berbeda pula dengan media pers lainnya.
Karena menyadari perannya yang sangat signifikan dalam mempengaruhi pandangan dan
pola pikir masyarakat, media massa kerap dijadikan sebagai alat bagi golongan
tertentu yang sarat dengan kepentingan, khususnya kepentingan politis dan
ekonomi. Contoh nyata adalah perbedaan antara CNN, Foxnews, dan Aljzeera dalam
mempublikasikan berita maupun data temuan keduanya. Dalam meliput invasi AS ke
Irak dan menyajikan data korban, kedua jaringan pemberitaan tersebut memiliki
perbedaan data yang cukup kontras. Hal ini kemudian
dianulir sebagai bentuk perbedaan kepentingan antara barat dan timur.
Mengkaji faktor-faktor di atas,
ketimpangan arus dan isi informasi bahkan hingga saat ini masih menjadi isu
yang krusial, walaupun konsep globalisasi kerap digembar-gemborkan. Apakah hal
ini sudah meunjukkan tercapainya tujuan dari globalisasi yang menginginkan
keadaan dunia tanpa batas dan kelancaran arus informasi?
Untuk memecahkan permaslahan
ini sepertinya tidaklah gampang. Karena untuk mempengaruhi rezim otoriter yang
membatasi media di suatu negara dictator, mengatasi maslah ketertinggalan
teknologi dan sistem informasi di negara berkembanga, serta mencegah pengaruh
kepentingan dalam media, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Diperlukan kesadaran oleh pemerintah akan pemenuhan hak rakyat terhadap
informasi yang berimbanga, kesadaran media kan neutralitas dan keobjektifan,
serta kesadaran masyarakat untuk berupaya memenuhi informasi sebagai haknya.
Jika ketiga aktor dalam komunikasi internasional ini telah menyadari perannya
dan permasalahan yang terjadi, seharusnya ketimpangan arus dan isi informasi
dapat diminimalisir.
DAFTAR
PUSTAKA
2004, Kahya Eyo, Perbandingan
Sistem dan Kemerdekaan Pers, Bandung Pustaka Bani Quraisy.
Comments
Post a Comment